Cerita Tentang Setetes Air


Namaku Bening, aku berasal dari sebuah pegunungan yang amat sejuk. Ibuku bernama “Mata Air”, beliau sangat menyayangiku, menjagaku sejak aku dilahirkan ke dunia ini. Suatu hari aku bercengkrama dengan teman – temanku, mereka menceritakan rencana perjalanan mereka ke Kota. “Kota? Apa itu Kota? Apakah itu nama sejenis tanaman?” tanyaku pada teman – temanku dengan polos. Seketika mereka menertawakan pertanyaanku,”Ya ampun Bening, apakah kamu belum pernah mendengar cerita tentang Kota? Itu adalah nama tempat di mana kehadiranmu sangat dihargai, kita akan menjadi bintang di sana karena semua makhluk hidup membutuhkan kita,” jawab salah seorang temanku. Aku hanya terdiam mendengar jawabannya, sembari mendengar cerita – cerita antusias mereka tentang Kota, dan betapa bahagianya mereka akan menjelajahi dunia luar.
Sumber :


Hingga tiba saatnya untuk mereka pergi ke Kota, aku meratapinya, aku merasa iri karena tidak dapat melakukan hal yang sama. “Bening, kenapa kau begitu murung nak? Coba ceritakan masalahmu pada Ibu,” tanya Ibu. “Ibu, apakah Ibu tahu Kota? Apakah Ibu pernah pergi ke sana? Aku ingin pergi ke sana Ibu. Tolong ijinkan aku pergi ke Kota,” kataku.

Ibu tersenyum simpul lalu berkata, “Bening anakku sayang, Kota tidak sebaik yang engkau pikirkan nak. Ada banyak hal di dunia ini yang tidak engkau ketahui, engkau perlu belajar tentang banyak hal untuk pergi ke sana. Di Kota tidak seperti tempat ini, di mana angin akan selalu menyapamu, rerumputan, burung, rusa dan seluruh penghuni pegunungan ini yang selalu riang menyambutmu. Bening, di sini engkau bebas melakukan apapun tanpa takut melukai dirimu, semuanya menjagamu dan menghargaimu, tapi di Kota tidak nak,”.
 


 

“Ibu tahu apa tentang Kota? Ibu tahu apa? Bukankah Ibu hanya tinggal di sini? Menghabiskan seluruh hidup Ibu untuk melahirkan tetesan – tetesan air seperti aku? Semua teman – temanku dan saudara – saudaraku yang lain bebas ke manapun bahkan sampai ke Kota, mereka dapat menikmati semuanya, lalu kenapa aku tidak? Aku tidak mau seperti ini, aku tidak mau,” kataku lalu berlari tanpa memperdulikan jawaban Ibu.

“Tapi cerita – cerita tentang indahnya Kota yang kau dengarkan salah nak. Kembalilah ke sini, Bening pulanglah nak. Jika kau telah ke Kota kau tidak akan bisa kembali lagi,” teriak Ibu. Aku masih dapat mendengarkan tangisannya, samar – samar dia masih berteriak memanggilku, tapi aku terus berlari, ke hilir dan terus ke hilir, dan sampai pada puncak tebing yang tinggi “Aaaarrrrggghhhhh…,” aku terjun.. Iya aku terjun. Rasanya sungguh luar biasa, aku belum pernah merasakannya. Jiwaku seperti melayang, terbang tinggi di angkasa, Kota iya aku akan pergi ke sana, meninggalkan semua keluarga dan kehidupanku di pegunungan, hidupku akan di mulai hari ini, aku sangat antusias.

Aku begitu menikmati perjalananku, bersama setiap tetes – tetes kaumku, aku melewati banyak hal. Mereka juga sama, meninggalkan pegunungan untuk mencari tempat tujuan mereka, dengan gagah kami menampilkan riak – riak kami, menari menyusuri setiap hilir demi hilir sungai, menyapa setiap keluarga yang kami temui, dan kami pun sampai di sebuah Desa. Iya, semua menyebutnya Desa, aku bertanya pada sebatang Pohon, “Pohon, katamu ini adalah tempat yang bernama Desa, tempat ini begitu sejuk, tidak terlalu berbeda dengan asalku di pegunungan. Tempat ini begitu asri bukan? Lihatlah, angin menyapa kita dengan riangnya dan merayu daun – daunmu. Lalu apakah kau tahu tentang Kota? Apakah sama seperti tempat ini?”

“Hahahaha.. Nak, tentu saja Kota berbeda jauh dengan tempat ini. Kau tidak akan sulit menemukan berbagai macam hal yang kau temui di sini” jawab Pohon. “Benarkah? Jadi Kota lebih indah dari tempat ini?” tanyaku begitu antusias.

“Tidak, tentu saja tidak. Kota tidak sama seperti di desa. Dengarkanlah aku nak, kau tidak akan menemukan kehidupan yang sama seperti yang kau jalani di pegunungan ataupun di sini. Tapi kali ini kau tidak bisa kembali lagi ke tempat asalmu, dengan harapanmu yang menggebu, jalanilah apa yang kau pilih, dan belajarlah dari semua yang akan kau hadapi kali ini,” kata Pohon. Aku memikirkan kata – kata Pohon, lalu aku berjalan dengan tenang, melewati parit – parit sawah, menyapa setiap rumput ilalang, mereka semua memuji kejernihanku. Iya aku sendiri bangga dengan kejernihanku, salah satu hal yang dibanggakan oleh Ibuku juga, ah Ibu..aku merindukanmu.

Akhirnya aku sampai pada ujung parit sawah yang aku lewati, terlihat di depanku warna – warni rumah – rumah yang kaumku bilang rumah – rumah para manusia. Suasana yang begitu berbeda, warna – warni tidak seperti di hutan yang hanya berwarna hijau.” Paman, apakah ini Kota?” tanyaku pada tetes air yang lain.

http://www.sipirok.net
 

“Bukan Bening, ini masih pinggir Kota, kata yang lain kita harus memasuki terowongan besar bernama pipa untuk masuk ke Kota” jawabnya, kami pun memasuki pipa yang mereka katakan, di sana begitu gelap, pengap, tak ada cahaya, dan panas. Kami berjalan selama berjam – jam, bahkan mungkin berhari – hari, kami tidak tahu. Selama berhari – hari berjalan, kami tiba di sebuah penampungan. Tidak seperti Ibu yang bersih, tempat ini seperti tidak terawat, tapi aku masih bisa menjaga kejernihanku.

Sepertinya pagi telah tiba, aku melihat secercah cahaya yang memasuki penampungan ini, seorang manusia mengambilku dengan alat yang tidak aku ketahui namanya, aku sangat bahagia, mungkin kali ini aku bisa membantunya, melepas haus seperti yang biasa aku lakukan di pegunungan, lagipula kata teman –temanku dahulu manusia sangat membutuhkan kami, kami adalah bintang, saat itu telah tiba. Tapi tunggu dulu, ternyata dugaanku salah, aku digunakan untuk mencuci pakaian mereka, oh tapi apa ini? Manusia mencampurku dengan bubuk yang sangat buruk, merusak kemurianku, tidak, tidak.

Aku menangis, aku sudah tidak jernih lagi, aku tercampur dengan sesuatu yang tidak aku kenal, dan itu sangat buruk. Aku juga melihat manusia tidak menggunakan tetes – tetes air dengan benar, mereka membuang kami, padahal Ibu melahirkan kami dengan berusah payah, aku sangat sedih memikirkannya. Belum cukup keterkejutanku dengan hal ini, lihat..manusia membuangku begitu saja, aku mengikuti jalan – jalan air, keluargaku juga menangisi hal yang sama akan apa yang kami alami, aku tidak dapat membayangkan ke mana lagi arus akan membawa kami, dan kami sampai di selokan, iya selokan, tempat itu begitu bau dan banyak sampah. Aku melihat saudara – saudaraku yang lebih dulu pergi ke Kota, mereka sangat buruk, bewarna hitam gelap, tidak sejernih dulu lagi, mereka bercerita bahkan tikus pun tak mau meminum mereka.

Aku semakin sedih mendengar itu semua, Ibu..andai dulu aku mendengarkanmu. Sekarang ke mana lagi aku akan pergi? Manusia tidak menghargai kami seperti apa yang kami harapkan, Ibu..,rasanya aku sangat sedih, aku ingin berguna bagi banyak makhluk di dunia ini, untuk pohon, untuk binatang ataupun untuk manusia, tapi..semua itu tidak dapat aku lakukan lagi Ibu, aku sudah tercemar dan ternoda. Ingin rasanya aku berada di tempat ini saja, aku tidak ingin merusak tetes – tetes air yang mungkin belum tercemar, tapi apa daya, aku hanya mampu mengikuti ke mana arus akan membawaku.

Aku melewati banyak hal – hal buruk, di mana hewan kecil juga terpaksa meminumku, manusia – manusia lain juga terpaksa memanfaatkanku, dan aku kembali terbuang lagi, kembali pada suatu selokan ke selokan lain, dari satu sungai ke sungai lain yang begitu tercemar, banyak cerita memilukan yang aku dapatkan, rupaku tak seindah dahulu lagi, aku begitu malu pada diriku sendiri. Aku sampai pada titik kelelahanku, di mana aku sudah tidak dapat menbendung kesedihanku sendiri, melihat keadaanku dan keadaan tetes – tetes air yang lain, semua ini begitu membuatku kecewa.
 
Sumber : http://www.anneahira.com/images/pencemaran-sungai.jpg
Arus membawaku ke lautan, laut yang dulu pernah diceritakan oleh Ibu. Sampai di laut ombak menyapaku,”Hai nak, kenapa engkau bersedih? Kemarilah, mendekat padaku, aku akan mengobati kesedihanmu”. “Tidak ombak, jangan sentuh aku, aku tidak ingin engkau tercemar, aku tidak ingin merusak saudara – saudaraku di lautan,” jawabku dengan terisak.
Ombak tersenyum melihatku,”Nak..kemarilah, semua saudara – saudaramu juga sama tercemar sepertimu, mereka tidak mengalami hal yang lebih baik darimu, manusia melakukan hal yang sama seperti apa yang mereka lakukan padamu, tidak..padaku juga. Percayalah,” kata ombak meyakinkanku.

“Ombak, seandainya saja aku menuruti kata – kata Ibuku untuk tetap diam di pegunungan, pasti aku tidak akan seperti ini, bertemu dengan manusia yang bahkan tidak menghargaiku. Ombak, aku sangat sedih, aku tidak sejernih dulu lagi, aku tidak berguna lagi, untuk apa aku hidup di dunia ini? Aku ingin mengering bersama pasir, aku tidak ingin bersamamu. Ombak,aku sangat sedih..,” aku mendekati pasir, membiarkan matahari mengeringkanku, dan berharap suatu saat nanti aku akan bertemu Ibu. Ombak hanya termenung melihat kepergian Bening..

(Terinspirasi dari buku yang pernah saya baca sewaktu kecil, tapi lupa judul sama pengarangnya.hehe)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gadis Mungil

Tentang Wanita yang Berjuang Demi Keluarga (1)

Sampah dan Kehidupan Di Sekeliling Kita