IBU



Kehilangan seseorang yang begitu kita sayangi tentu sangat menyedihkan, apalagi orang tersebut adalah orang tua kita. Sama seperti yang saya alami, bapak saya meninggal ketika saya berumur 13 tahun, masa – masa di mana saya sangat membutuhkan sosok seorang bapak. Awalnya saya berpikir Tuhan begitu tidak adil kepada saya, ketika teman – teman saya atau orang lain dapat bebas bermanja – manja dengan ayahnya, saya tidak dapat melakukan hal yang sama, tapi hal tersebut hanya terlintas sejenak dipikiran saya, itu semua karena saya memiliki ibu dan kakak – kakak yang selalu menguatkan saya, mereka lebih dari apapun di dunia ini. Cerita ini bukan menceritakan tentang saya, tapi saya akan menceritakan tentang ibu saya, bagaimana seorang istri (dalam pandangan saya) ketika ditinggalkan oleh suami.

Ibu adalah sosok perempuan yang tegar, bayangkan saja selang beberapa hari setelah ditinggalkan suaminya, anak – anaknya pun harus meninggalkannya untuk mengejar mimpi mereka masing – masing, saya harus kembali bersekolah di Bangli, sedangkan kakak – kakak saya yang lain harus kembali bekerja dan kuliah di Denpasar, sedangkan ibu saya harus tetap berada di Kampung, melanjutkan usahanya mencari nafkah untuk anak – anaknya, sendirian.


Hidup di desa menyandang status sebagai janda tidaklah mudah, segala perilaku dan gerak -  gerik akan diawasi oleh tetangga (maklum, namanya juga di kampung, minim hiburan, jadi satu – satunya hiburan yang menyenangkan – mungkin adalah membicarakan orang lain). Apalagi dulu ibu saya mempunyai usaha membuka warung, ada seorang pria yang duduk di warung bisa jadi fitnah atau gosip. Pernah suatu kali ketika saya pulang untuk berlibur, saya mendengar orang lain membicarakan ibu saya akan menikah lagilah, inilah, itulah. Saya bertanya apakah ibu akan menikah lagi, ibu saya bilang tidak, saya percaya itu. Saya tahu bapak saya adalah satu –satunya pria yang dicintainya dan tidak akan pernah tergantikan oleh orang lain. Sejak saat itu saya mulai melarang ibu saya berhubungan dengan pria manapun, berteman atau apapun, saya melarang ibu saya untuk berkomunikasi dengan orang lain menggunakan telepon genggam. Setiap kali saya pulang ke rumah, semua hal yang dilakukan oleh ibu selalu saya awasi.
Sering kali saya melihat ibu terlihat murung dan sedih, tapi saya tidak pernah menanyakan alasannya, saya takut akan membuatnya bertambah sedih. Saya pikir mungkin karena ibu lelah bekerja sendirian. Setelah beberapa lama bapak meninggal, sifat ibu mulai berubah, beliau tambah sensitive, sering marah – marah dan mudah tersinggung, sering menangis jika ada masalah apapun). Saat itu saya masih belum bisa berpikiran dewasa, segala hal masih saya lakukan dengan emosi, ketika ibu marah saya malah balik ikut marah, hubungan kami lebih mirip kakak – adik ketimbang dengan ibu dan anak. Seiring berjalannya waktu saya mulai bisa berpikir dan mempelajari situasi, keadaan menuntut saya untuk selalu berpikiran dewasa dari umur saya yang sebenarnya. Saya harus melihat segala hal dari dua sisi, dari sisi saya sebagai seorang anak, dan dari sisi ibu saya. Bagaimana jika saya merasakan hal yang sama?

Saya memang belum menikah, tapi sedikit tidaknya saya mulai belajar dan bertanya kepada orang lain, untuk seorang istri (yang dulunya) memiliki suami lalu kemudian ditinggalkan (maksudnya ditinggal meninggal, kalau bercerai atau semacamnya lain lagi), mereka akan merasa goyah, mengambang, seperti tidak ada pijakan, tidak ada pegangan, semua hal terasa berat dilalui, apalagi jika memiliki anak – anak yag harus dihidupi, semua hal harus berlanjut dan diperjuangkan. Ada masa - masa di mana mereka akan merasa kesepian walaupun di tengah keramaian. Bercerita dengan pasangan hidup tidak sama dengan bercerita dengan saudara, sahabat atau anak sekalipun. Mereka memiliki porsi atau tempat yang berbeda – beda, dari segi mencurahkan perasaan ada hal yang bisa diceritakan dengan orang lain dan ada hal yang hanya nyaman diceritakan dengan pasangan hidup.

Dulu saya merasa saya sudah melakukan segalanya untuk menyenangkan ibu saya, sebisa mungkin saya ingin ibu saya selalu menceritakan apa saja yang beliau rasakan, saya ingin walaupun bapak sudah meninggal, kami anak – anaknya dapat menjadi penyemangatnya untuk menjalani hari – hari tanpa bapak. Tapi setelah saya beranjak dewasa, mulai berpacaran atau menjalin hubungan dengan lawan jenis, saya mulai mengerti bahwa apa yang saya pikirkan selama ini salah. Seceria apapun ibu saya terlihat selama ini, beliau masih merasa kesepian. Saya terlalu sombong menganggap saya bisa menjadi apapun untuk ibu saya, saya terlalu sombong menganggap ibu pasti bahagia karena kami selalu ada. Padahal ada banyak hal yang ingin beliau ceritakan dengan “teman hidupnya”, tapi itu mustahil untuk dilakukan.



Akhirnya sebisa mungkin saya berusaha untuk menyenangkan ibu saya, mempelajari sifatnya yang sering berubah semenjak bapak meninggal. Ada beberapa hal yang ingin saya bagikan untuk orang lain yang (mungkin) merasakan hal yang sama seperti apa yang saya rasakan.
  • Untuk anda yang ditinggalkan ayah ketika ibu anda masih muda, sebisa mungkin luangkan waktu untuk mendengarkan curhatan – curhatan ibu anda. Cukup dengarkan saja (berikan saran seperlunya dan jangan terkesan menggurui), biasanya mereka hanya butuh didengarkan, sifat egoisnya akan muncul karena merasa menanggung semua beban sendiri. 
  •  Seperti yang saya alami, ibu saya berubah menjadi lebih sensitive, cepat tersinggung, mudah marah dan gampang menangis. Jadi jaga perilaku anda agar jangan sampai membuat ibu anda sedih, marah dan sebagainya (apalagi jika beliau memiliki riwayat darah tinggi).
  • Selanjutnya jaga dan perhatikan penampilan ibu anda,jangan sampai beliau terlihat lusuh bahkan tidak terawat. Beliau harus selalu terlihat bersih dan terawatt, apa anda tidak malu pada ayah anda di surge jika “wanitanya” tidak anda jaga dengan baik?
  • Berusahalah menjadi penguat atau banteng pertahanan untuk ibu anda, menjadi pembela ibu anda dari ancaman – ancaman orang – orang yang tidak menyukai ibu anda. (Ciiiaattt…)
  • Biarkan ibu anda melakukan hal – hal yang beliau suka, selama itu tidak mengganggu kesehatannya, dan selama hal tersebut dapat membuat beliau senang.
  • Jika anda cukup ikhlas untuk membiarkan ibu anda menikah lagi, maka iklaskanlah (carikan pasangan yang cocok untuk menjadi suami yang pantas, serta ayah yang baik untuk anda). Jika itu hal yang diinginkan oleh ibu anda, selama mereka bahagia, kenapa tidak?
  • (Sayangi ibu anda seperti anda menyayangi pacar atau orang – orang terdekat anda, tidak peduli seberapa cerewetnya beliau, karena beliau sudah mengorbankan banyak hal yang bahkan tidak dapat kita balas sampai kapanpun) 
Terima kasih ibu


Hmm.., oke deh sekian pengalaman yang ingin saya ceritakan. Sebenarnya ini tulisan abstrak banget, saya hanya menulis apa yang saya pikirkan dan ingin saya utarakan. Jadi apabila ada salah kata, saya mohon maaf. (hahaha..kayak penutup pidato). Terima kasih. J

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gadis Mungil

Tentang Wanita yang Berjuang Demi Keluarga (1)

Sampah dan Kehidupan Di Sekeliling Kita