Skenario



Kehidupan di dunia ini, selalu memberikan skenario atau cerita yang berbeda – beda kepada setiap pelaku peran. Kenapa saya sebut pelaku peran? Karena bagi saya hidup ini hanya panggung sandiwara, sama seperti yang dikatakan di salah satu lirik lagu (serius lupa judulnya apa). Segala skenarionya sudah ditentukan oleh Tuhan, kita hanya perlu menjalankan peran kita dengan sebaik mungkin, bagaimana hasilnya nanti, itu semua tergantung dari seberapa baik peran yang telah kita jalani. Ada orang yang dari awal sudah terlahir kaya raya, hingga hidup berfoya – foya karena sudah bingung harus diapakan kekayaan yang mereka miliki. Tapi di sisi lain, ada orang yang memiliki kehidupan yang jauh bertolak belakang dengan si kaya, mereka harus membanting tulang, berjuang dengan keras agar dapat bertahan di panggung sandiwara kehidupan ini. Ya bagaimanapun peran yang dijalani, semua patut disyukuri, bukankah segalanya sudah diatur oleh Tuhan?

Tapi hal yang ingin saya tulis kali ini bukan tentang drama, acting atau sebagainya. Saya ingin membagikan cerita tentang seorang ibu(dan anaknya) pengepul jeruk (pokoknya orang yang beli jeruk dari satu kebun ke kebun lain, kalau di kampung saya sih dipanggil saudagar). Awalnya saya jarang sekali bertemu dengan saudagar jeruk ini karena saya jarang pulang kampung, kalaupun pulang paling hanya untuk satu atau dua hari. Sebenarnya Mbok (karena dia perempuan dan lebih tua, saya panggil Mbok atau kakak) pengepul jeruk itu baru berumur 25 tahun, umurnya masih muda dan sudah memiliki dua anak, tapi mungkin karena beliau bekerja menggunakan fisik, di tengah terik sinar matahari, debu, ataupun dingin (cuaca sekitar kampung saya tidak jelas) jadi beliau sudah terlihat lusuh dan lebih tua dari umur sebenarnya. 

Ketika pertama kali bertemu dengannya, dia mengajak anaknya yang ke dua yang masih kecil. Anak keduanya (laki – laki) seumuran dengan keponakan laki – laki saya (kurang lebih 3 tahun). Setiap dia datang ke rumah (dengan menggendong anaknya), pasti dia bertanya “Buk mekel, dadi tiang meli juuke buk?” (Ibu, boleh saya beli jeruknya?). Dan tentu saja ibu saya pasti selalu mengiyakan, tentunya dengan tawar menawar harga terlebih dahulu. Setelah harga jeruk yang akan beliau beli disepakati, beliau mulai mencari jeruk – jeruk ke kebun. Biasanya beliau hanya membeli dalam jumlah yang kecil, jeruk – jeruk yang masih tersisa di kebun setelah dijual ke padagang besar. Awalnya saya tidak bisa membayangkan beliau ke kebun di cuaca yang sangat terik, menggendong anaknya yang masih kecil sekali kala itu, sambil membawa galah (untuk mencari jeruk yang tinggi – tinggi), dan membawa keranjang untuk menampung jeruk. Ah pokoknya ribet sekali. Saya bertanya kepada ibu saya (karena malu bertanya pada saudagar itu langsung, takut beliau akan tersinggung), apa anaknya tidak akan sakit diajak panas – panasan seperti itu. Ibu saya berkata, percaya atau tidak anaknya memiliki ketahanan fisik yang kuat (Kalau sekarang saya yang di posisi anak itu, pasti sudah flu, batuk pilek, kulit kering mengelupas mirip ular bersisik, dll).


Pertemuan selanjutnya (waktu di mana saya mengambil foto – foto ini), Mbok saudagar jeruk ini membeli jeruk di kebun saya (istilahnya malapan, bahasa Indonesianya memetik) dengan anak pertamanya (gadis kecil tokoh utama yang akan saya ceritakan). Anak kecil itu berumur kurang lebih lima atau enam tahun (mungkin enam tahun kali ya, saya kurang tahu), rambutnya lurus sebahu, sedikit pirang karena terik sinar matahari. Matanya, mata bulat yang indah, bulat tapi terlihat sipit, ketika dewasa ia akan menjadi gadis yang cantik. Gadis kecil yang sangat pendiam, mungkin karena kami baru pertama kali bertemu, ke mana ibunya pergi, ia selalu mengikuti ibunya. Sembari bermain – main di kebun, atau sesekali membantu ibunya memetik jeruk, ia bergerak ke sana ke mari. Tidak ada sedikitpun rasa lelah terpancar di wajah lugunya. Wajahnya yang kotor oleh debu yang menempel di ingus kala itu, khas anak desa, jangankan sempat mandi pagi seperti kebanyakan anak – anak di kota, air sangat susah dicari. Ia bangun pagi, sarapan dan langsung diajak bekerja bersama ibunya, ibunya bahkan belum sempat menyisir rambutnya.

Bisa dibayangkan bagaimana gadis kecil itu sudah menyelami kehidupan ibunya sejak dini, sudah melihat dan merasakan secara langsung bagaimana kehidupan ibunya, bagaimana perjuangan ibunya mencari nafkah, untuk secercah harapan esok hari. Saya senang mengamatinya, tidak sekalipun ibunya yang pejuang dan kuat layaknya baja itu, memaksa gadis itu untuk membantunya memetik jeruk. Ia membiarkan apapun yang dilakukan oleh anaknya selama tidak berbahaya. Ah,sungguh menyenangkan melihat gadis kecil itu, saya selalu berharap semoga kehidupannya jauh lebih baik dari ibunya, semoga ia bisa menjadi wirausaha yang sukses di masa depan, berwirausaha sama seperti yang dilakukan oleh ibunya. Berwirausaha ya nak, agar kamu bisa menjadi pembuka lapangan pekerjaan, mempekerjakan banyak orang (jangan menjadi pegawai seperti saya,hahahaha)


Hal – hal yang membuat saya salut pada anak desa seperti gadis kecil itu, mereka terbiasa membantu orang tunya dari kecil, entah itu mengambil air, diberi kepercayaan untuk membantu orang tua mencari rumput untuk ternak, memberi makan ayam peliharaan dan lain – lain. Menurut saya, orang tuanya bukan mengeksploitasi anaknya untuk bekerja, bukan, itu sudah skenario alam. Kalau di desa, di mana mencari tempat – tempat les menari, bimbel, atau lain sebagainya seperti di kota? Kebun dan ladang adalah tempat mereka bermain, hewan ternak adalah sahabat mereka. Lingkungan dan pengalaman akan membuat mereka generasi yang mandiri dan tidak manja.

Banyak hal yang bisa saya pelajari dari kehidupan orang lain, contohnya Mbok saudagar jeruk dan gadis kecil ini. Seringkali ketika kita menganggap kehidupan orang lain lebih baik dari kehidupan kita, kita lupa bersyukur atas apa yang kita miliki saat ini, padahal tidak ada hidup seseorang yang sempurna. Di tempat yang berbeda, ada banyak orang yang hidupnya jauh lebih susah dari apa yang kita alami saat ini. Kita hanya bisa menghargai waktu - waktu yang telah berlalu dan yang terjadi saat ini, bagaimana kehidupan kita di masa depan, kita tidak dapat meramalkannya bukan? Mungkin kita akan mendapatkan A, dan akan kehilangan B, semuanya tidak dapat kita prediksi, hal yang bisa dilakukan hanya menjalani peran dengan sebaik mungkin.
Ah saya sudah buntu inspirasi, sampai beberapa paragraf tulisan ini, sudah tidak ada lagi yang bisa saya ucapkan. Semoga bisa menjalankan skenario kehidupan ini dengan baik ya gadis kecil dengan ingus yang masih menempel di pipi, semoga alur ceritanya bisa berubah seiring perjuanganmu di masa depan.
 

 
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gadis Mungil

Tentang Wanita yang Berjuang Demi Keluarga (1)

Sampah dan Kehidupan Di Sekeliling Kita