Menjadi Janda, Salah Siapa?
Setiap orang yang menikah pasti memiliki impian yang besar tentang pernikahannya di masa depan, memiliki suami/ istri yang baik, memiliki anak yang lucu – lucu, hidup bahagia sampai kakek dan nenek, membayangkannya seperti cerita di dongeng – dongeng princess, atau seperti Habibie & Ainun di kisah nyata. Tapi terkadang kenyataan tidak berjalan seperti apa yang dicita – citakan. Banyak pasangan yang dapat dikatakan “gagal” membina dan mempertahankan rumah tangga yang mereka jalin, sehingga terjadi perceraian. Dikutip dari Merdeka.com terdapat tujuh faktor penyebab perceraian, diantaranya Perbedaan Prinsip, Kekerasan, Perselingkuhan, Kecanduan, Keuangan, Komunikasi, dan Seks. Tapi apapun alasannya, tidak ada satu orang pun (baik pria maupun wanita) yang memiliki cita – cita agar rumah tangganya berantakan dan menghadapi peceraian hingga menjadikan mereka menyandang status duda atau janda. Lalu bagaimana dengan seseorang yang menghadapi takdir menjadi seorang duda atau janda? (Dalam tulisan ini saya akan membahas khusus tentang janda).
Fakta yang banyak terdapat di dalam masyarakat kita saat ini adalah
menyandang status sebagai seorang janda merupakan suatu aib yang terjadi dalam
lingkungan masyarakat. Banyak spekulasi atau stigma negatif yang diberikan
kepada seseorang yang menyandang status sebagai seorang janda, beberapa opini
akan muncul bahwa menjadi janda merupakan salah pihak wanita, karena tidak
mampu menjadi seorang istri yang baik, atau lain sebagainya yang membuat mereka
menjadi “tersangka” atas status yang telah mereka sandang. Selain itu akan
banyak terdapat pertanyaan nyeleneh yang
ditujukan kepada seorang janda misalnya,”Kenapa harus cerai sih, kenapa ga mengalah aja sama suami?”, “Kenapa
harus cerai sih, ga sayang ninggalin anak – anak?, “Kenapa harus cerai sih,
blablablablabla”, dan segudang pertanyaan lainnya yang menurut saya akan
memojokkan posisi seorang wanita yang telah bercerai. Padahal sebagai pihak
yang tidak terlibat langsung dalam rumah tangga mereka, tidak sepantasnya kita
menilai sesuatu yang tidak kita ketahui duduk persoalannya. Oh ayolah, kalau saja
pernikahan tersebut baik – baik saja, kenapa harus menyiksa diri sebagai
seorang janda? Apa mereka pernah meminta kepada Tuhan agar ditakdirkan menjadi
seorang janda? Tentu saja tidak.
Bayangkanlah, begitu berat beban yang mereka tanggung, baik perceraian
yang dilaksanakan secara damai ataupun bertikai dengan mantan suaminya, bagi
saya kedua hal tersebut meninggalkan “luka” yang sama, tapi dengan tingkat atau
porsi yang berbeda. Misalnya jika bercerai secara damai, maka hubungan dengan
mantan suami masih terjalin secara baik dalam mengurus buah hati mereka (jika sudah
memiliki), tapi berbeda dengan perceraian yang berlangsung secara “kurang
baik”, mungkin saja pihak wanita yang menjanda ini akan berkonflik dengan
mantan suaminya bahkan kehilangan akses untuk bertemu anaknya sendiri (kasus
ini sangat banyak terjadi). Bagaimana perasaan wanita yang mengalami hal ini?
Sudah bercerai dan menjadi janda, lalu kehilangan akses untuk bertemu anaknya
sendiri tentu sangat menyakitkan. Ditambah lagi masalah yang mereka temui
setelah resmi menyandang status sebagai seorang janda, seperti jatuh tertimpa
tangga pula.
Menjadi seorang janda di lingkungan masyarakat yang selalu memandang
segala sesuatu secara “negatif” tentu bukan perkara yang mudah, pasalnya segala
gerak – geriknya akan menjadi sorotan dalam masyarakat, terutama oleh kaumnya
sendiri “wanita”, apalagi jika menjadi janda muda yang masih cantik. Akan
banyak wanita – wanita bersuami yang mengawasi suaminya, agar tidak dekat –
dekat dengan wanita yang menjanda. Segala hal yang dilakukan oleh kaum janda
akan dinilai, pakaiannya, pekerjaannya, bagaimana keadaan rumahnya, bagaimana
pergaulannya, bahkan berboncengan dengan tukang ojek pun bisa jadi gossip yang
beredar di kalangan masyarakat, bahwa mereka suka bergonta – ganti pria. Ah
begitu buruknya pikiran wanita pada kaumnya sendiri, tanpa berpikir dahulu,
bagaimana jika kita di posisi yang sama? Bagaimana jika pernikahan yang telah
kita jalin (bagi yang sudah menikah) atau yang akan kita jalin (bagi yang belum
menikah) tiba – tiba mengalami hal yang sama, hingga membuat kita menjadi
seorang janda. Pernahkah kita bertimbang rasa sebelum menghakimi hidup orang
lain? Kita tidak pernah tau bagaimana Tuhan akan menentukan jalan hidup kita ke
depannya, yang harus kita lakukan adalah berbuat baik hari ini, jika pun hasilnya tidak sebaik
yang kita harapkan, itu adalah karma yang harus kita terima.
Perlakukan – perlakukan “istimewa” yang diterima oleh seorang janda,
secara tidak langsung akan membuat mereka menarik diri dari lingkungan
masyarakat. Mereka akan cenderung bergaul dengan orang – orang yang pernah atau
sedang menyandang status yang sama, hal ini juga akan membuat mereka membatasi
ruang atau gerak yang mereka miliki sehingga mereka tidak dapat bergerak maju
untuk mencapi hidup yang lebih baik, membebaskan mereka dari kegelapan yang membelenggu
mereka. Walaupun pada kenyataannya banyak juga janda – janda di luar sana yang
pada akhirnya sukses terbebas dari belenggu kegelapannya, hingga dapat
mensejahterakan kehidupannya sendiri dan keluarganya.
Lalu, menjadi janda salah siapa? Bukan salah wanita jika harus menghadapi
perceraian hingga menyebabkan mereka menyandang status sebagai seorang janda,
dan bukan salah pria yang pernah menjadi suaminya pula. Orang bilang perceraian
terjadi karena keegoisan masing – masing pasangan, bisa iya, bisa juga tidak,
karena kembali lagi masalah kehidupan pernikahan antara suami – istri hanya mereka
dan Tuhan yang tau, pihak luar tidak berhak untuk menilai dan menyimpulkan
seperti apa mereka. Saya tidak pernah mendukung perceraian itu terjadi, karena
bagi saya perceraian akan menimbulkan dampak yang buruk bagi diri mereka sendiri,
mantan suami, keluarga kedua belah pihak, dan yang paling terpenting adalah
buah hati mereka, tapi jika pernikahan juga tidak lebih baik untuk
dipertahankan, tentu akan menimbulkan dampak yang lebih buruk dari sekedar
perceraian, yang pasti keputusan apapun yang diambil memiliki konsekuensi yang
tinggi.
Menurut pendapat saya, status apapun yang dimiliki oleh orang lain,
seperti halnya seorang janda, kita tidak berhak menilai buruk bahkan mencibir
status mereka. Tidak ada diskriminasi apapun hanya karena status yang mereka
miliki. Janda adalah seorang wanita, mereka juga memiliki hak yang sama seperti
wanita – wanita lainnya, berhak mendapatkan cinta dan kasih sayang yang sama,
berhak untuk mendapatkan kebahagiaan yang sama. Selama mereka menjadi janda
yang terhormat, dan tidak mengusik kehidupan rumah tangga orang lain, kenapa
harus kita gunjingkan keberadaannya?
Tulisan ini saya persembahkan untuk wanita –
wanita di luar sana, yang menyandang status sebagai seorang janda, yang pernah
mendapatkan perlakuan kurang menyenangkan karena status yang mereka dapatkan.
Bagi ibu – ibu yang menjadi orang tua tunggal untuk anak – anak mereka, atau
bagi ibu – ibu yang terpisah dengan buah hati mereka karena keadaan, semoga
selalu dikuatkan dalam situasi apapun, dan semoga jalan Tuhan selalu
menunjukkan yang terbaik untuk kalian.
Referensi:
Faktor
Penyebab Perceraian
(http://www.merdeka.com/gaya/7-faktor-penyebab-perceraian.html).
Suka
BalasHapusbagus sekali penjelasannya, semoga kesehatan dan keberkahan rizky untuk penulis
BalasHapus