Jalan Cerita dari Jalanan
Menikmati sore tanpa obrolan. Melihat orang
lalu lalang. Mobil yang bergerak, motor yang melaju menyisip di tiap celah.
Berusaha merekam memori tentang para aktor – aktor kehidupan. Ditemani secangkir
green tea latte, sepotong cake manis, sebuah pulpen dan buku kecil yang baru
saja saya beli. Awalnya berniat membeli buku di toko buku sebelah, lalu membaca
di café ini, SENDIRIAN!
Tapi harapan itu runtuh, ketika buka pintu
makhluk gundul merengek – rengek mau nebeng, “Aku ikut sampe toko sepatu ya
gek, nanti baliknya naik gojek deh”. Gunduuuulllllll, mentang – mentang pacarnya
ke Banyuwangi, bela – belain beli sandal baru sebelum ketemuan. Ggggrrrhhh ga
tega deh, padahal dari pagi bilang “aku mau pergi sendiri”.
Akhirnya kita pergi ke toko sepatu, baju, toko
buku, dan ke toko kosmetik kekinclongan gundulnya. Mampir sebentar buat makan. Saya
selalu menikmati moment – moment kecil kapanpun, dimanapun dan dengan siapapun,
baik keluarga, teman kantor, atau sahabat, yang tidak melulu tentang pacar atau
percintaan. Untuk sebagian orang yang berpikiran terlalu sempit, persahabatan antar
lelaki dan perempuan selalu diartikan pdkt atau pacaran. Dunia memang penuh
cinta, tapi dunia itu luas, lebih luas dari pemikiran kita.
Kebetulan pas kita makan, ada pasangan nenek
dan kakek tua yang ngamen (asli suaranya bagus). Menikmati satu lagunya, tiba
– tiba turun hujan, kami mengajak mereka berdua makan bersama, dengan tarik
menarik karena beliau bersikeras menolak. Dari obrolan ringan kami, saya tau
beliau dari Djawatan - Benculuk, naik angkot (di sini namanya Lin - Linnaaaa) ke kota berdua, bernyanyi hingga sore, kemudian
kembali ke tempat asalnya (mengamen ya, bukan meminta – minta).
![]() |
Maaf, ini udah ekspresi paling bagus. |
“Ini gitar
bapak? Boleh saya lihat sebentar”.
“Bukan mbak, itu punya temen saya. Beliau sudah meninggal, dan gitarnya dikasi saya. Kalau saya bilang itu punya saya, nanti saya salah, soalnya itu masih menjadi milik teman saya”.
“Bukan mbak, itu punya temen saya. Beliau sudah meninggal, dan gitarnya dikasi saya. Kalau saya bilang itu punya saya, nanti saya salah, soalnya itu masih menjadi milik teman saya”.
Istri si bapak pendiam sekali, sambil sesekali
tersenyum, saya jadi ga enak, takut beliau ga nyaman. Ternyata setelah bicara,
beliau tidak pasif berbahasa Indonesia, tiap ditanya jawabnya pakai Bahasa Osing,
“Alamak, Bahasa Jawa aja saya ga ngerti, apalagi Bahasa Osing”. Jadi ya gitu,
ngobrol ngalur ngidul tentang Djawatan yang ada pohon – pohon uniknya, lagu –
lagu yang biasa dibawakan bapaknya, lain – lain. Hingga hujan reda, dan kami
berpisah melanjutkan tujuan kami masing – masing.
Saya berlabuh di café pada prolog. Tempat ini
sudah lama saya incar untuk dikunjungi, bersyukur ga terlalu ramai jadi bisa
memilih tempat di lantai 2 yang bisa melihat jalan raya. Sambil duduk,
memperhatikan bapak – bapak tukang parkir yang telaten banget ngejalanin tugas.
“Biar saja di sana barangnya mbak, ga akan hilang” ujar beliau ketika baru
sampai. Memperhatikan beliau yang sigap bantu orang – orang nyebrang, pelanggan
yang parkir dan lain – lain.
Memperhatikan sepeda motor yang lewat dengan
barang – barang dari ujung kanan kiri, depan belakang.
Memperhatikan tukang becak yang asyik dengan
pekerjaannya.
Memperhatikan abang gofood yang sabar mengantarkan
pesanan pelanggannya.
Memperhatikan tukang es tung – tung yang
membawa kesejukan untuk anak – anak kecil.
Memperhatikan penjual kacang yang memangku
dagangannya (atau memanggul, eh apa sih namanya?)
Memperhatikan dua wisatawan asing yang enjoy
jalan kaki panas – panasan.
Memperhatikan bapak – bapak yang menikmati
kayuhan sepedanya.
Memperhatikan ambulance yang melaju kencang
dengan sirinenya, berdoa semoga pasien yang akan dijemput atau diantar bisa terselamatkan.
Memperhatikan penjual bakso yang mungkin
kelelahan mendorong gerobaknya.
Memperhatikan ibu – ibu penjual jamu yang telah
kehabisan dagangannya.
Memperhatikan tragedi tabrakan beruntun di
depan mata yang tidak sempat terekam kamera efek kaget. Melihat bagaimana
posisi mobil ditengah – tengah yang paling parah kerusakannya, syukur ga ada
korbannya sih. Cuma penyok – penyok. Melihat 3 rombongan mobil yang berdikusi, mereka
terlihat sangat sabar dan menerima, kami melihatnya hanya dengan kasihan. Semoga
mendapatkan jalan keluar terbaik.
Dan memperhatikan ulah pengunjung di café ini,
yang buang puntung rokok sembarangan. Hello, udah polusi asap, sampahnya
dibuang sembarangan pula. Dan beberapa tissue dibuang ke tanaman. Mungkin tidak
terlihat oleh pegawainya. Tapi ini murni salah pengunjung yang otaknya
ketinggalan di perut ibunya pas dilahirkan. Waktu cepat berlalu, ternyata 2 jam
duduk lebih banyak diam. Kami memutuskan untuk pulang.
Ada banyak orang yang tidak kita kenal, kita
jumpai setiap harinya. Mereka menjadi pemeran bagi kehidupan pribadinya, sibuk
dengan jutaan pikiran yang ada di kepalanya setiap hari. Kalau diceritakan,
dibukukan atau diangkat menjadi sebuah film, tentunya akan memiliki
keistimewaan masing – masing yang akan berguna bagi pemeran – pemeran lain
tentang mendalami sebuah lakon “sebagai manusia”. Silahkan bergelut dengan
pikiran kita masing – masing.
Salam minggu positif. Semoga bisa menikmati
hari dengan manis.
PS : Maaf untuk semua foto yang diambil tanpa izin :)
PS : Maaf untuk semua foto yang diambil tanpa izin :)
masih suka nulis :)
BalasHapus